Skip to main content

Matoa di Tanah Jawa

Udara tak pernah selemah itu. Setiap tarikan dan hembusan seakan tanpa gesek, memberikan dimensi luang pada setiap molekul untuk menjauh. Bukan karena udaranya aku pengap, tapi akibat berita di TV aku seakan terjebak. Berita si pemimpin tak punya hati yang bikin emosi. Ditambah bau dahak yang menguar di udara. Bikin muak!

"Ko pu maitua cantik sekali (isterimu cantik sekali)," suara lirih itu baru kudengar seharian ini. 

Aku mangkir, menoleh pun tidak. Perempuan yang kini tergolek di atas dipan tidak kukenal. Bahkan kami tak pernah jumpa di acara pernikahan. Hanya Theo yang datang waktu itu, disaksikan seorang pendeta, dicatatkan di dinas kependudukan. Toh aturan di Indonesia tak pernah melarang pria berusia 29 tahun untuk menikah dengan wanita pilihannya. 

"Tidur sudah, Mace. Jang terlalu banyak tahan mata!"

Itu suamiku. Lelaki asli papua yang membuatku jatuh cinta dengan gelap kulitnya yang kontras dengan putih hatinya. Dia tak pernah marah, juga bukan tipe laki-laki yang andalkan baku hantam. Dia Theo, anak ap kain suku Dani yang pilih hijrah ke tanah Jawa. Kabur. Minggat. Theo ingin menimba ilmu, ingin bekerja, dan ingin menikah dengan siapapun pilihan hatinya.

"Aku mau matoa."

Theo menatapku. Putus asa. 

Kata Theo, matoa papeda hanya berbuah sekali dalam setahun. Dan hanya di tanah Papua yang kering dan tebal. Theo kecil seringkali memanjat batangnya yang tinggi dan besar. Dari atas pohon matoa ia memandang lembah Baliem yang membentang seakan hijau tanpa ujung. Dan honai yang menggunduk di bawahnya, semakin menorehkan identitas kaumnya. Pohon matoa ini jadi saksi, saat sedikit demi sedikit arogansi pabrik menggeser harmoni budayanya, namun pada saat yang sama mereka kukuh berdiri - dalam patung dan pahat, dalam mumi dan kayu oopihr, dalam pakaian wah dan koteka. 

"Tak ada matoa di Jawa," kata Theo - serak.

"Ah..., sekarang bulan Oktober. Pasti buahnya sudah matang. Manis dan lengket. Aku mau matoa."

Wanita itu terpejam. Napasnya bergerak teratur. Terlalu halus. Lebih halus dari suaraku yang tengah memisahkan kacang sangrai dari kulitnya. 

Hampir mati-kah perempuan itu? Theo tampak sedih sekali hingga buruk rupanya. Sesekali kulihat dia membasuh matanya. 

"Aku mau matoa."

Lagi-lagi perempuan itu mengigau. 

"Sop ayam. Tadi kam dua to yang masak?" ia bertanya.

Theo tersenyum lembut. "Arini yang masak. Dia jago masak "

"Manise," lirihnya sekali lagi. 

Ah...aku tak tahan! 
Wanita itu membuatku kesal saja. Datang saat hampir tewas, mengikat kami berdua di rumah. Alhasil kacang asin bawang produksi kami harus berhenti. Padahal sudah hampir sebulan benda itu tak lagi menarik, berganti dengan kriuk-nya remah politik yang dijual seribu tiga di emperan warung kopi. Menyebalkan.

"Aku harus cari matoa," kata suamiku tiba-tiba.

"Kau sudah gila!" Jelas aku tak suka. "Sudah malam. Lagipula mau cari matoa ke mana? Tak ada matoa di tanah Jawa!"

"Aku harus coba. Aku mau Mace sembuh." Theo sudah memutuskan. Tak ada niatnya menggagalkan tekad.

Tinggallah aku dalam keheningan. Bahkan tak lagi berani memisahkan kacang. Kalau sampai wanita tua itu bangun, bisa celaka! Aku tak kenal siapa dia - meski suamiku bilang kami sudah menyatu. Aku tak paham caranya bicara - meski Theo memintaku mengerti dengan bahasa cinta. Aku tak suka aroma tubuhnya - meski kata Theo harum lembah Baliem melekat padanya. Aku tak suka warna kulitnya - meski sama seperti apa yang Theo punya.

Rumit...! Rumit...! Mengapa cintaku pada Theo begitu sederhana, tapi tidak pada orang ini? Padahal 89 tahun silam para pemuda mengaku punya bangsa yang sama. Padahal seharusnya tanah air kami sama. Dan bahasa persatuan kami katanya sama, meski dialeknya rupa-rupa.

Mengapa matoa tak bisa tumbuh di tanah Jawa? Mengapa tak ada pohon besar itu disini? Mengapa Jawa berbeda dengan Baliem, dan suku Dani berbeda dengan Jawa? Atau jangan-jangan, selentingan politik ini yang bikin tak sama? Yang bikin tak intim? Yang bikin tiba-tiba perkawinan antar suku, antar ras, dan antar agama adalah bercela? Mengapa sulit sekali menerima wanita itu, padahal dia ibu dari suamiku dan nenek dari calon anakku.

"Aku mau matoa," lirihnya masih tak berubah.

"Tak bisakah kau diam? Tak ada matoa di tanah Jawa! Kau tak bisa paksakan apa yang jadi keinginanmu pada kami! Kau tak bisa keras kepala seperti ini! Tak ada matoa di tanah Jawa!"

Sejenak wanita itu terbelalak. Tak sangka aku akan berteriak. Lalu ia memandang lukisan di dinding sekelebat. 

"Tak ada Ahok juga di Papua," katanya perlahan. 

Aku terenyak!

Aku tahu sekarang! 

Inilah dia! Sumber kekesalanku adalah karena kebodohanku sendiri. Hingar-bingar politik kujadikan panggung yang kutonton sendiri. Aku bergelut sendiri, akting, dan menonton sendiri. Pikiranku penuh oleh tokoh-tokoh antagonis dan protagonis. Aku menyangkal, menggertak, dan menghujat -bersikap seakan-akan aku sang sutradara. Suara rakyat, kata mereka. Padahal tak lebih daripada boneka yang dimainkan, lagi-lagi oleh sang penguasa. 

Aku malu hati. Tak ada Ahok di Papua, membuatku sadar. Seperti juga Matoa yang tak pernah ada di tanah Jawa. 

Pintu rumah terkuak.

"Kubawakan sesuatu untukmu, Mace," suamiku berujar sarat semangat. 

Di tangannya sebuah bungkusan hitam tampak berat.

"Mace, kata orang bule yang pernah kutemui, ini buah surga." 

Dengan tak sabar perempuan tua itu mengeluarkan isinya. Buah dengan permukaan bersisik hitam, membuatnya heran.

"Coba dulu!" Dengan cekatan suamiku mengupas kulitnya. "Orang bule itu bilang, ini adalah buah terenak yang pernah dia makan. Dan aku setuju."

Diambilnya sebuah oleh Mace, dirabanya perlahan, diendus, dan digigitnya dengan ragu. Sedetik kami menahan napas. Tak tergambar ekspresi suka ataupun sebaliknya. Wanita itu tertegun, detik berikutnya tampak takjub.  

Deretan gigi putih menghiasi wajahnya. Perempuan itu tersenyum lebar.
"Kau benar," katanya. "Ini buah dari surga. Ini Matoa di tanah Jawa."

Berbalut haru, kupeluk dia erat. Theo benar, harum Lembah Baliem kental dalam dekapannya. 

"Ah..., manise," ujarnya lirih. 
"Selamat datang, Ibu," kataku. "Selamat datang di tanah airmu."

Comments

Popular posts from this blog

Kita adalah Habitat kita

Habitat adalah tempat suatu makhluk hidup tinggal dan berkembang biak, atau dengan kata lain, lingkungan—lingkungan fisik—di sekeliling populasi suatu spesies yang mempengaruhi dan dimanfaatkan oleh spesies tersebut. Alam mengajarkan bahwa banyak hewan yang melakukan adaptasi untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau mungkin ada pembentukan oleh pemilik seperti yang dilakukan pada hewan peliharaan. Manusia adalah makhluk yang tidur di waktu malam, dan beraktivitas di waktu siang. Namun apa yang terjadi ketika manusia ingin memelihara binatang yang beraktivitas di waktu yang berlawanan atau nocturnal ? Ternyata yang dilakukan adalah merubah kebiasaan hidup hewan nocturnal tersebut agar bisa sama seperti siklus aktivitas pemiliknya. Demikian juga dengan kebudayaan, saat seseorang masuk ke lingkungan baru, ia melakukan adaptasi dengan lingkungan tersebut namun dengan motivasi agar bisa diterima . Manusia terbagi menjadi 4 tipe : tukang camping, tukang panjat, tu

Mengenang Masa Lalu

Belakangan ini, saya menjadi sedikit "cengeng". Dunia yang tadinya begitu indah, sejuk, aman, menyenangkan, dalam sekejap menjadi riuh rendah, berisik dengan kekerasan, bahkan dalam keheningan pun, kekerasan itu masih terasa. Mungkin ini cara saya melarikan diri, nostalgia ke masa lalu. Masa di mana, keberbedaan diterima sebagai bagian berwarna indah dalam satu lukisan dan keindahan dalam lagu yang enak didengar. Bayangkan jika, sebuah lukisan hanya satu warna; bahkan lukisan monokrom, pun minimal 2 warna.. Sebuah lagu semua notnya berada di satu nada... Ketukannya sama.... Membayangkannya saja sudah stress... Sang Pencipta kita sangat kreatif, dari satu jenis makhluk bisa dibuat demikian banyak perbedaan, tidak ada yang sama 100%. Bahkan binatang dan pohon pun jika kita perhatikan semuanya berbeda satu sama lain. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa Sang Pencipta sangat menyukai keberagaman. Jika tidak, untuk apa Ia menciptakan suku bangsa begitu banyak, yang men