Skip to main content

Menggambar Telor: Berbeda dan Tak Sempurna

Dulu saya pernah baca satu cerita tentang seorang murid yang berambisi ingin menjadi pelukis ternama. Si murid ini berpindah-pindah dari satu guru ke guru lain, mempelajari ilmu menggambar sampai sempurna.

Tapi, tentu saja itu belum cukup. Masih ada satu guru lagi yang belum dia datangi. Master dari yang paling master dari dunia melukis.

Singkat kata, si murid diterima oleh guru hebat tersebut. Pelajaran pertamanya adalah menggambar telor.

Si murid berpikir kalau itu sangat mudah. Dia menggambar berpuluh-puluh telor yang sempurna dengan penuh percaya diri.

Lalu, apa pendapat sang guru?

Sang guru hanya mengangguk dan meminta si murid untuk datang lagi besok.

Keesokan harinya si murid datang lagi dengan harapan akan mendapatkan ilmu menggambar yang baru. Namun sang guru memintanya menggambar telor lagi.

Begitu seterusnya selama enam bulan. Si murid hanya disuruh menggambar telor dan tidak yang lain. Yang tadinya sabar, si murid pun mulai jengkel. Dia marah kepada sang guru karena merasa dipermainkan.

"Saya datang ke sini untuk belajar menjadi pelukis terkenal. Bukan untuk menggambar telor saja!"

Sang guru hanya tersenyum dan lalu pergi mengambil satu kotak berisi telor yang baru dibelinya di pasar. Dia mengeluarkan semua telor itu dan menyuruh si murid untuk memperhatikan.

"Coba kamu cari. Apakah kamu bisa menemukan dua butir telor yang sama bentuknya seperti pinang dibelah dua?"

Tentu saja si murid tidak bisa menemukannya. Semua telor itu terlihat sama, tapi tidak ada yang benar-benar sama.

"Selama enam bulan ini, kamu menggambar telor dengan bentuk sempurna dan sama setiap butirnya. Padahal di dalam kenyataannya, tidak ada satu pun telor berbentuk sempurna dan tidak ada dua telor pun yang bentuknya sama!"

Sejak saat itu, si murid tidak lagi menggambar segala sesuatu dengan sempurna seperti apa yang ada di bayangannya. Dia melukis setiap benda di alam dengan segala ketidaksempurnaannya. Dan akhirnya dia berhasil menjadi pelukis yang terkenal seperti impiannya sejak kecil.

Saya rasa moral ceritanya sudah jelas. Bahwa tidak ada satu hal pun di dunia ini yang sempurna dan sama. Bahkan telor ciptaan Tuhan pun tidak sempurna dan bentuknya berbeda-beda.

Lalu kenapa kita menuntut kesempurnaan dari orang lain? Apakah diri kita sendiri adalah orang yang sempurna? Setiap kali saya mendengar dan membaca tentang orang yang menganggap agamanya sendiri yang paling benar atau rasnya yang paling unggul, saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mereka belum bercermin dan melihat dirinya sendiri.

"Tapi, kami tidak bisa diam saat agama dan ras kami dilecehkan! Kami harus membalas!"

Wah, hebat sekali ya. Apa bedanya kalian sama pihak seberang? Kalian sama-sama menghina. Dan ini akan terus berlangsung bagaikan lingkaran setan. Tidak ada ujungnya sampai ada orang yang mau mengalah dan memaafkan sesamanya. Itulah kenapa semua ajaran kebaikan selalu menekankan tentang "memaafkan". Karena hal itu sulit dilakukan. Tidak mudah untuk melepaskan diri dari rantai lingkaran setan itu.

Jadi di hari Pancasila ini, saya ingin mengajak masing-masing untuk merenung. Indonesia bisa ada sekarang ini karena berbagai macam peristiwa sejarah, pengorbanan pahlawan-pahlawan masa lalu, dan perjuangan serta mimpi setiap individunya yang mencintai bangsa ini. Jangan pandang sesamamu yang tinggal di Indonesia ini hanya dari ras dan agamanya. Pandanglah mereka sebagai rekan seperjuanganmu dalam membangun Indonesia ke arah yang lebih baik lagi. Saya yakin sisi nasionalis dalam diri kalian pasti menginginkan hal yang sama: Indonesia yang maju dan pantas dibanggakan di mata negara-negara lain.

Itulah perjuangan yang sesungguhnya. Cintai negaramu dan bukan dirimu sendiri. Janganlah egomu yang tersinggung merusak bangsa ini. Apa salah Indonesia sehingga pantas mendapatkannya? Dia sudah menyediakan tempat tinggal bagimu, menumbuhkan segala tanaman yang menjadi makananmu, memberimu tanah air di mana kamu bisa membangun keluarga dan kehidupan...

Jadilah orang yang tahu balas budi. Berikan yang terbaik bagi Indonesia yang sudah mau menerimamu sebagai penduduknya.



Juragan Telor
Kamis, 1 Juni 2017 

Comments

Popular posts from this blog

Kita adalah Habitat kita

Habitat adalah tempat suatu makhluk hidup tinggal dan berkembang biak, atau dengan kata lain, lingkungan—lingkungan fisik—di sekeliling populasi suatu spesies yang mempengaruhi dan dimanfaatkan oleh spesies tersebut. Alam mengajarkan bahwa banyak hewan yang melakukan adaptasi untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya atau mungkin ada pembentukan oleh pemilik seperti yang dilakukan pada hewan peliharaan. Manusia adalah makhluk yang tidur di waktu malam, dan beraktivitas di waktu siang. Namun apa yang terjadi ketika manusia ingin memelihara binatang yang beraktivitas di waktu yang berlawanan atau nocturnal ? Ternyata yang dilakukan adalah merubah kebiasaan hidup hewan nocturnal tersebut agar bisa sama seperti siklus aktivitas pemiliknya. Demikian juga dengan kebudayaan, saat seseorang masuk ke lingkungan baru, ia melakukan adaptasi dengan lingkungan tersebut namun dengan motivasi agar bisa diterima . Manusia terbagi menjadi 4 tipe : tukang camping, tukang panjat, tu

Mengenang Masa Lalu

Belakangan ini, saya menjadi sedikit "cengeng". Dunia yang tadinya begitu indah, sejuk, aman, menyenangkan, dalam sekejap menjadi riuh rendah, berisik dengan kekerasan, bahkan dalam keheningan pun, kekerasan itu masih terasa. Mungkin ini cara saya melarikan diri, nostalgia ke masa lalu. Masa di mana, keberbedaan diterima sebagai bagian berwarna indah dalam satu lukisan dan keindahan dalam lagu yang enak didengar. Bayangkan jika, sebuah lukisan hanya satu warna; bahkan lukisan monokrom, pun minimal 2 warna.. Sebuah lagu semua notnya berada di satu nada... Ketukannya sama.... Membayangkannya saja sudah stress... Sang Pencipta kita sangat kreatif, dari satu jenis makhluk bisa dibuat demikian banyak perbedaan, tidak ada yang sama 100%. Bahkan binatang dan pohon pun jika kita perhatikan semuanya berbeda satu sama lain. Bagi saya, ini menunjukkan bahwa Sang Pencipta sangat menyukai keberagaman. Jika tidak, untuk apa Ia menciptakan suku bangsa begitu banyak, yang men

Matoa di Tanah Jawa

Udara tak pernah selemah itu. Setiap tarikan dan hembusan seakan tanpa gesek, memberikan dimensi luang pada setiap molekul untuk menjauh. Bukan karena udaranya aku pengap, tapi akibat berita di TV aku seakan terjebak. Berita si pemimpin tak punya hati yang bikin emosi. Ditambah bau dahak yang menguar di udara. Bikin muak! "Ko pu maitua cantik sekali (isterimu cantik sekali)," suara lirih itu baru kudengar seharian ini.  Aku mangkir, menoleh pun tidak. Perempuan yang kini tergolek di atas dipan tidak kukenal. Bahkan kami tak pernah jumpa di acara pernikahan. Hanya Theo yang datang waktu itu, disaksikan seorang pendeta, dicatatkan di dinas kependudukan. Toh aturan di Indonesia tak pernah melarang pria berusia 29 tahun untuk menikah dengan wanita pilihannya.  "Tidur sudah, Mace. Jang terlalu banyak tahan mata!" Itu suamiku. Lelaki asli papua yang membuatku jatuh cinta dengan gelap kulitnya yang kontras dengan putih hatinya. Dia tak pernah marah, juga bukan tipe laki-la